Selasa, 15 Januari 2008

Belajar mencintai dan dicintai

oleh:
Cahyadi Takariawan, SSi, Apt
Jogjakarta.

Seorang suami bercerita kepada saya, bahwa dalam usia pernikahannya yang memasuki tahun ketiga, ia tak juga merasa semakin mengenal istrinya. Masih sekian banyak hal2 asing dan bahkan aneh yang ia temukan pada diri seorang makhluk "halus" bernama istrinya itu. Siapakah dirimu wahai istriku? Demikian ia sering bertanya dalam hati.

Seorang perempuan yang tiba2 menangis tanpa sebab2 yang bisa diterima akal laki2. Seorang perempuan yang tiba2 ngambek hanya karena urusan kecil menurut ukuran laki2. Sesekali sedemikian manja dan amat ceria, pada kesempatan lain tampak begitu keras. Sesekali tampak cerdas dan pintar dalam berargumentasi, sesekali tampak sedemikian emosional dan logikanya tidak jalan.

Dunia laki2 sering mengajarkan pola hidup rasional, argumentative, cenderung mengeliminir unsur perasaan dan dalam banyak hal : kaku. Ia lebih bisa memahami mengapa seseorang berkelahi, daripada mengapa ada orang yang menangis dalam menyelesaikan masalah. Ia lebih bisa menerima seseorang yang berdebat dalam mempertahankan keinginannya daripada seseorang yang diam membisu dalam mengekspresikan keinginannya. Ia lebih mudah mengerti jawaban "iya" dan "tidak" daripada bahasa perasaan yang mengalir tanpa kejelasan.
Tapi sedemikian pulalah yang dihadapi oleh sang istri. Seorang akhwat muslimah, yang belum pernah bersentuhan kulit dengan laki2 di masa lajangnya. Tiba2 ia merasa ada " raksasa yang memperkosa" banyak rahasia dirinya. Sehelai rambut yang sempat menyembul keluar dari balik kerudung rapinya saja sudah cukup membuat ia malu dan merah padam wajahnya di depan laki2. Kini semua rambutnya berjurai lepas di dalam rumah, di hadapan seorang ikhwan. Ia mencoba menyesuaikan irama kehidupan dirinya dengan suami. Ia mulai mengenal dunia laki2 secara sangat dekat tanpa jarak. Ia mulai berinteraksi dengan benda2 perlengkapan laki2 yang dulu tak pernah terjamah olehnya. Bahasa2 dakwah yang kental dan bahkan amat pekat selama ini, telah mencetak sebuah kepribadian aktivis yang berbahasa lugas dan tak pandai juga tak terbiasa "berbunga-bunga" dalam berbahasa. Kini harus ada evolusi kultural, sejak dari penampilan, berparhum didepan suami, bersolek wajah, merajuk, merayu, bersikap manja dan
membahasakan cinta secara berbunga2. Kesemuanya itu tidak pernah ada pelajarannya. Tidak pernah ada materi pembinaannya. Tiba2 harus bisa, dalam waktu sekejap saja.

Kita dibuat tidak secara pandai dan argumentatif memahami dunia pasangan kita, kecuali melalui pembelajaran dan saling membantu untuk terbuka kepada pasangannya tentang apa yang dirasakan. Saling membantu mengajarkan tentang diri sendiri, bahwa "aku adalah makhluk Allah yang punya keinginan" dan mestinya "engkau mengerti keinginanku". Tetapi proses pembahasaan verbal tak senantiasa berhasil mengungkap hakekat perasaan, sebab diksi tak selalu mampu menuturkan kata hati secra jeli dan teliti.

Cinta bisa saja menimbulkan prasangka, justru karena ingin mengekalkan kecintaan itu. Sebagaimana saling percaya harus tumbuh diatas benih2 kesuburan cinta dan kasih saying suami istri secara timbal balik. Tak pelak keikhlasan harus memancar serta secara tulus menerima apa adanya pasangan hidup masing2.

Untuk bisa mencintai dan merasakan dicintai, diperlukan pengenalan, sebagaimana kata orang bijak tak kenal maka tak sayang. Maka belajarlah untuk mengenali pasangan hidup masing2.

Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana


"De'... de'... Selamat Ulang Tahun..." bisik seraut wajah tampan tepat di hadapanku. "Hmm..." aku yang sedang lelap hanya memicingkan mata dan tidur kembali setelah menunggu sekian detik tak ada kata-kata lain yang terlontar dari bibir suamiku dan tak ada sodoran kado di hadapanku.

Shubuh ini usiaku dua puluh empat tahun. Ulang tahun pertama sejak pernikahan kami lima bulan yang lalu. Nothing special. Sejak bangun aku cuma diam, kecewa. Tak ada kado, tak ada black forest mini, tak ada setangkai mawar seperti mimpiku semalam. Malas aku beranjak ke kamar mandi. Shalat Subuh kami berdua seperti biasa. Setelah itu kuraih lengan suamiku, dan selalu ia mengecup kening, pipi, terakhir bibirku. Setelah itu diam. Tiba-tiba hari ini aku merasa bukan apa-apa, padahal ini hari istimewaku. Orang yang aku harapkan akan memperlakukanku seperti putri hari ini cuma memandangku.

Alat shalat kubereskan dan aku kembali berbaring di kasur tanpa dipanku. Memejamkan mata, menghibur diri, dan mengucapkan. Happy Birthday to Me... Happy Birthday to Me.... Bisik hatiku perih. Tiba-tiba aku terisak. Entah mengapa. Aku sedih di hari ulang tahunku. Kini aku sudah menikah. Terbayang bahwa diriku pantas mendapatkan lebih dari ini. Aku berhak punya suami yang mapan, yang bisa mengantarku ke mana-mana dengan kendaraan. Bisa membelikan blackforest, bisa membelikan aku gamis saat aku hamil begini, bisa mengajakku menginap di sebuah resor di malam dan hari ulang tahunku. Bukannya aku yang harus sering keluar uang untuk segala kebutuhan sehari-hari, karena memang penghasilanku lebih besar. Sampai kapan aku mesti bersabar, sementara itu bukanlah kewajibanku.

"De... Ade kenapa?" tanya suamiku dengan nada bingung dan khawatir.

Aku menggeleng dengan mata terpejam. Lalu membuka mata. Matanya tepat menancap di mataku. Di tangannya tergenggam sebuah bungkusan warna merah jambu. Ada tatapan rasa bersalah dan malu di matanya. Sementara bungkusan itu enggan disodorkannya kepadaku.

"Selamat ulang tahun ya De'..." bisiknya lirih. "Sebenernya aku mau bangunin kamu semalam, dan ngasih kado ini... tapi kamu capek banget ya? Ucapnya takut-takut.
Aku mencoba tersenyum. Dia menyodorkan bungkusan manis merah jambu itu. Dari mana dia belajar membukus kado seperti ini? Batinku sedikit terhibur. Aku buka perlahan bungkusnya sambil menatap lekat matanya. Ada air yang menggenang.

"Maaf ya de, aku cuma bisa ngasih ini. Nnnng... Nggak bagus ya de?" ucapnya terbata. Matanya dihujamkan ke lantai.

Kubuka secarik kartu kecil putih manis dengan bunga pink dan ungu warna favoritku. Sebuah tas selempang abu-abu bergambar Mickey mengajakku tersenyum. Segala kesahku akan sedikitnya nafkah yang diberikannya menguap entah ke mana. Tiba-tiba aku malu, betapa tak bersyukurnya aku.

"Jelek ya de'? Maaf ya de'... aku nggak bisa ngasih apa-apa.... Aku belum bisa nafkahin kamu sepenuhnya. Maafin aku ya de'..." desahnya.

Aku tahu dia harus rela mengirit jatah makan siangnya untuk tas ini. Kupeluk dia dan tangisku meledak di pelukannya. Aku rasakan tetesan air matanya juga membasahi pundakku. Kuhadapkan wajahnya di hadapanku. Masih dalam tunduk, air matanya mengalir. Rabbi... mengapa sepicik itu pikiranku? Yang menilai sesuatu dari materi? Sementara besarnya karuniamu masih aku pertanyakan.

"A' lihat aku...," pintaku padanya. Ia menatapku lekat. Aku melihat telaga bening di matanya. Sejuk dan menenteramkan. Aku tahu ia begitu menyayangi aku, tapi keterbatasan dirinya menyeret dayanya untuk membahagiakan aku. Tercekat aku menatap pancaran kasih dan ketulusan itu. "Tahu nggak... kamu ngasih aku banyaaaak banget," bisikku di antara isakan. "Kamu ngasih aku seorang suami yang sayang sama istrinya, yang perhatian. Kamu ngasih aku kesempatan untuk meraih surga-Nya. Kamu ngasih aku dede'," senyumku sambil mengelus perutku. "Kamu ngasih aku sebuah keluarga yang sayang sama aku, kamu ngasih aku mama...." bisikku dalam cekat.

Terbayang wajah mama mertuaku yang perhatiannya setengah mati padaku, melebihi keluargaku sendiri. "Kamu yang selalu nelfon aku setiap jam istirahat, yang lain mana ada suaminya yang selalu telepon setiap siang," isakku diselingi tawa. Ia tertawa kemudian tangisnya semakin kencang di pelukanku.

Rabbana... mungkin Engkau belum memberikan kami karunia yang nampak dilihat mata, tapi rasa ini, dan rasa-rasa yang pernah aku alami bersama suamiku tak dapat aku samakan dengan mimpi-mimpiku akan sebuah rumah pribadi, kendaraan pribadi, jabatan suami yang oke, fasilitas-fasilitas. Harta yang hanya terasa dalam hitungan waktu dunia. Mengapa aku masih bertanya. Mengapa keberadaan dia di sisiku masih aku nafikan nilainya. Akan aku nilai apa ketulusannya atas apa saja yang ia berikan untukku? Hanya dengan keluhan? Teringat lagi puisi pemberiannya saat kami baru menikah... Aku ingin mencintaimu dengan sederhana...

Ketika Ikhwan Jatuh Cinta


Suatu ketika, dalam majelis koordinasi seorang akhwat berkata pada mas'ul dakwahnya, "akhi, ana ga bisa lagi berinteraksi dengan akh fulan". Suara akhwat itu bergetar. Nyata sekali menekan perasaannya."Pekan lalu, ikhwan tersebut membuat pengakuan yang membuat ana merasa risi dan….Afwan, terus terang juga tersinggung." Sesaat kemudian suara dibalik hijab itu mengatakan….ia jatuh cinta pada ana."

mas'ul tersebut terkejut, tapi ditekannya getar suaranya. Ia berusaha tetap tenang. "Sabar ukhti, jangan terlalu diambil hati. Mungkin maksudnya tidak seperti yang anti bayangkan." Sang mas'ul mencoba menenangkan terutama untuk dirinya sendiri.

"Afwan…ana tidak menangkap maksud lain dari perkataannya. Ikhwan itu mungkin tidak pernah berpikir dampak perkataannya. Kata-kata itu membuat ana sedikit banyak merasa gagal menjaga hijab ana, gagal menjaga komitmen dan menjadi penyebab fitnah. Padahal, ana hanya berusaha menjadi bagian dari perputaran dakwah ini." sang akhwat kini mulai tersedak terbata.

"Ya sudah…Ana berharap anti tetap istiqamah dengan kenyataan ini, ana tidak ingin kehilangan tim dakwah oleh permasalahan seperti ini". Mas'ul itu membuat keputusan, "ana akan ajak bicara langsung akh fulan"

Beberapa Waktu berlalu, ketika akhirnya mas'ul tersebut mendatangi dulan yang bersangkutan. Sang Akh berkata, "Ana memang menyatakan hal tersebut, tapi apakah itu suatu kesalahan?"

Sang mas'ul berusaha menanggapinya searif mungkin. "Ana tidak menyalahkan perasaan antum. Kita semua berhak memiliki perasaan itu. Pertanyaan ana adalah, apakah antum sudah siap ketika menyatakan perasaan itu. Apakah antum mengatakannya dengan orientasi bersih yang menjamin hak-hak saudari antum. Hak perasaan dan hak pembinaannya. Apakah antum menyampaikan kepada pembina antum untuk diseriuskan?. Apakah antum sudah siap berkeluarga. Apakah antum sudah berusaha menjaga kemungkinan fitnah dari pernyataan antum, baik terhadap ikhwah lain maupun terhadap dakwah????" Mas'ul tersebut membuat penekanan substansial. " Akhi bagi kita perasaan itu tidak semurah tayangan sinetron atau bacaan picisan dalam novel-novel. Bagi kita perasaan itu adalah bagian dari kemuliaan yang Allah tetapkan untuk pejuang dakwah. Perasaan itulah yang melandasi ekspansi dakwah dan
jaminan kemuliaan Allah SWT. Perasaan itulah yang mengeksiskan kita dengan beban berat amanah ini. Maka Jagalah perasaan itu tetap suci dan mensucikan."

Cinta Aktivis Dakwah
Bagaimana ketika perasaan itu hadir. Bukankah ia datang tanpa pernah diundang dan dikehendaki? Jatuh cinta bagi aktivis dakwah bukanlah perkara sederhana. Dalam konteks dakwah, jatuh cinta adalah gerbang ekspansi pergerakan. Dalam konteks pembinaan, jatuh cinta adalah naik marhalah pembinaan. Dalam konteks keimanan, jatuh cinta adalah bukti ketundukan kepada sunnah Rosullulah saw dan jalan meraih ridho Allah SWT.

Ketika aktivis dakwah jatuh cinta, maka tuntas sudah urusan prioritas cinta. Jelas, Allah, Rosullah dan jihad fii sabilillah adalah yang utama. Jika ia ada dalam keadaan tersebut, maka berkahlah perasaannya, berkahlah cintanya dan berkahlah amal yang terwujud dalam cinta tersebut. Jika jatuh cintanya tidak dalam kerangka tersebut, maka cinta menjelma menjadi fitnah baginya, fitnah bagi ummat, dan fitnah bagi dakwah. Karenannya jatuh cinta bagi aktivis
dakwah bukan perkara sederhana.

Ketika Ikhwan mulai bergetar hatinya terhadap akhwat dan demikian sebaliknya. Ketika itulah cinta `lain' muncul dalam dirinya. Cinta inilah yang akan kita bahas disini. Yaitu sebuah karunia dari kelembutan hati dan perasaan manusia. Suatu karunia Allah yang membutuhkan bingkai yg jelas. Sebab terlalu banyak pengagung cinta ini yang kemudian menjadi hamba yang tersesat. Bagi aktivis dakwah, cinta lawan jenis adalah perasaan yang lahir dari tuntutan fitrah, tidak lepas dari kerangka pembinaan dan dakwah. Suatu perasaan produktif yang dengan indah dikemukakan oleh ibunda kartini," …akan lebih banyak lagi yang dapat saya kerjakan untuk bangsa ini, bila saya ada disamping laki-laki yg cakap, lebih banyak kata saya…..daripada yang saya usahakan sebagai perempuan yg berdiri sendiri.."

Cinta memiliki 2 mata pedang. Satu sisinya adalah rahmat dengan jaminan kesempurnaan agama dan disisi lainnya adalah gerbang fitnah dan kehidupan yg sengsara. Karenanya jatuh cinta membutuhkan kesiapan dan persiapan. Bagi setiap aktivis dakwah, bertanyalah dahulu kepada diri sendiri, sudah siapkah jatuh cinta??? jangan sampai kita lupa, bahwa segala sesuatu yang melingkupi diri kita, perkataan, perbuatan, maupun perasaan adalah bagian dari deklarasi nilai diri sebagai generasi dakwah. Sehingga umat selalu mendapatkan satu hal dari apapun pentas kehidupan kita, yaitu kemuliaan Islam dan kemuliaan kita karena memuliakan Islam.

Deklarasi Cinta
Sekarang adalah saat yang tepat bagi kita untuk mendeklarasikan cinta diatas koridor yang bersih. Jika proses dan seruan dakwah senantiasa mengusung pembenahan kepribadiaan manusia, maka layaklah kita tempatkan tema cinta dalam tempat utama. Kita sadari kerusakan prilaku generasi hari ini, sebagian besar dilandasi oleh salah tafsir tentang cinta. Terlalu banyak penyimpangan terjadi, karena cinta didewakan dan dijadikan kewajaran melakukan pelanggaran. Dan tema tayangan pun mendeklarasikan cinta yang dangkal. Hanya ada cinta untuk sebuah persaingan, sengketa. Sementara cinta untuk sebuah kemuliaan, kerja keras dan pengorbanan, serta jembatan jalan kesurga dan kemuliaan Allah, tidak pernah mendapat tempat disana.

Sudah cukup banyak pentas kejujuran kita lakukan. Sudah terbilang jumlah pengakuan keutamaan kita, sebuah dakwah yang kita gagas, Sudah banyak potret keluarga yg baru dalam masyarakat yg kita tampilkan. Namun berapa banyak deklarasi cinta yang sudah kita nyatakan. Cinta masih menjadi topik `asing' dalam dakwah kita. Wajah, warna, ekspresi dan nuansa cinta kita masih terkesan `misteri. Pertanyaan sederhana, "Gimana sih, kok kamu bisa nikah sama dia, Emang kamu cinta sama dia?", dapat kita jadikan indikator miskinnya kita mengkampanyekan cinta suci dalam dakwah ini.

Pernyataan `Nikah dulu baru pacaran' masih menjadi jargon yang menyimpan pertanyaan misteri, "Bagaimana caranya, emang bisa?". Sangat sulit bagi masyarakat kita untuk mencerna dan memahami logika jargon tersebut. Terutama karena konsumsi informasi media tayangan,
bacaan, diskusi dan interaksi umum, sama sekali bertolak belakang dengan jargon tersebut.

Inilah salah satu alasan penting dan mendesak untuk mengkampanyekan cinta dengan wujud yang baru. Cinta yang lahir sebagai bagian dari penyempurnaan status hamba. Cinta yang diberkahi karena taat kepada sang Penguasa. Cinta yang diberkahi karena taat pada sang penguasa. Cinta yang menjaga diri dari penyimpangan, penyelewengan dan perbuatan ingkar terhadap nikmat Allah yang banyak. Cinta yang berorientasi bukan sekedar jalan berdua, makan, nonton dan seabrek romantika yang berdiri diatas pengkhianatan terhadap nikmat, rezki, dan amanah yang Allah berikan kepada kita.

Kita ingin lebih dalam menjabarkan kepada masyarakan tentang cinta ini. Sehingga masyarakat tidak hanya mendapatkan hasil akhir keluarga dakwah. Biarkan mereka paham tentang perasaan seorang ikhwan terhadap akhwat, tentang perhatian seorang akhwat pada ikhwan, tentang cinta ikhwan-akhwat, tentang romantika ikhwan-akhwat dan tentang landasan kemana cinta itu bermuara. Inilah agenda topik yang harus lebih banyak dibuka dan dibentangkan. Dikenalkan kepada masyarakat berikut mekanisme yang menyertainya. Paling tidak gambaran besar yang menyeluruh dapat dinikmati oleh masyarakat, sehingga mereka bisa mengerti bagaimana proses panjang yang menghasilkan potret keluarga dakwah hari ini.

Epilog
Setiap kita yang mengaku putra-putri Islam, setiap kita yg berjanji dalam kafilah dakwah, setiap kita yang mengikrarkan Allahu Ghoyatuna, maka jatuh cinta dipandang sebagai jalan jihad yang menghantarkan diri kepada cita-cita tertinggi, syahid fi sabililah. Inilah perasaan yang istimewa. Perasaan yang menempatkan kita satu tahap lebih maju. Dengan perasaan ini, kita mengambil jaminan kemuliaan yang ditetapkan Rosullulah. Dengan perasaan ini kita memperluas ruang dakwah kita. Dengan perasaan ini kita naik marhalah dalam dakwah dan pembinaan.

Betapa Allah sangat memuliakan perasaan cinta orang-orang beriman ini. Dengan cinta itu mereka berpadu dalam dakwah. Dengan cinta itu mereka saling tolong menolong dalam kebaikan, dengan cinta itu juga mereka menghiasi Bumi dan kehidupan di atasnya. Dengan itu semua Allah berkahi nikmat itu dengan lahirnya anak-anak shaleh yang memberatkan Bumi dengan kalimat Laa Illaha Ilallah. Inilah potret cinta yang sakinah, mawaddah, warahmah. jadi…sudah berani jatuh cinta…??
wallahu'alam

diambil dari majalah al izzah edisi 11/th4/jan 2005 M

Ya Allah,
Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta padaMu, telah berjumpa dalam taat padaMu, telah bersatu dalam da'wah padaMu.
Kokohkanlah ya Allah, ikatannya, kekalkanlah cintanya..